tag:blogger.com,1999:blog-12796150657483680882024-02-08T08:30:45.649-08:00humor sufiKI COKROhttp://www.blogger.com/profile/17161641128928539794noreply@blogger.comBlogger45125tag:blogger.com,1999:blog-1279615065748368088.post-13138550728362730162010-03-10T09:38:00.001-08:002010-03-10T09:38:45.292-08:00teori kebutuhanNasrudin berbincang-bincang dengan hakim kota. Hakim kota, seperti umumnya cendekiawan masa itu, sering berpikir hanya dari satu sisi saja. Hakim memulai,"Seandainya saja, setiap orang mau mematuhi hukum dan etika, ..."Nasrudin menukas, "Bukan manusia yang harus mematuhi hukum, tetapi justru hukum lah yang harus disesuaikan dengan kemanusiaan."Hakim mencoba bertaktik, "Tapi coba kita lihat cendekiawan seperti Anda. Kalau Anda memiliki pilihan: kekayaan atau kebijaksanaan, mana yang akan dipilih?"Nasrudin menjawab seketika, "Tentu, saya memilih kekayaan."Hakim membalas sinis, "Memalukan. Anda adalah cendekiawan yang diakui masyarakat. Dan Anda memilih kekayaan daripada kebijaksanaan?"Nasrudin balik bertanya, "Kalau pilihan Anda sendiri?"Hakim menjawab tegas, "Tentu, saya memilih kebijaksanaan."Dan Nasrudin menutup, "Terbukti, semua orang memilih untuk memperoleh apa yang belum dimilikinya."KI COKROhttp://www.blogger.com/profile/17161641128928539794noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-1279615065748368088.post-38122850137883832272010-03-10T09:35:00.001-08:002010-03-10T09:35:44.678-08:00tampang itu perluNasrudin hampir selalu miskin. Ia tidak mengeluh, tapi suatu hari istrinyalah yang mengeluh. "Tapi aku mengabdi kepada Allah saja," kata Nasrudin."Kalau begitu, mintalah upah kepada Allah," kata istrinya.Nasrudin langsung ke pekarangan, bersujud, dan berteriak keras-keras, "Ya Allah, berilah hamba upah seratus keping perak!" berulang-ulang. Tetangganya ingin mempermainkan Nasrudin. Ia melemparkan seratus keping perak ke kepala Nasrudin. Tapi ia terkejut waktu Nasrudin membawa lari uang itu ke dalam rumah dengan gembira, sambil berteriak "Hai, aku ternyata memang wali Allah. Ini upahku dari Allah."Sang tetangga menyerbu rumah Nasrudin, meminta kembali uang yang baru dilemparkannya. Nasrudin menjawab "Aku memohon kepada Allah, dan uang yang jatuh itu pasti jawaban dari Allah."Tetangganya marah. Ia mengajak Nasrudin menghadap hakim. Nasrudin berkelit, "Aku tidak pantas ke pengadilan dalam keadaan begini. Aku tidak punya kuda dan pakaian bagus. Pasti hakim berprasangka buruk pada orang miskin."Sang tetangga meminjamkan jubah dan kuda.Tidak lama kemudian, mereka menghadap hakim. Tetangga Nasrudin segera mengadukan halnya pada hakim."Bagaimana pembelaanmu?" tanya hakim pada Nasrudin."Tetangga saya ini gila, Tuan," kata Nasrudin."Apa buktinya?" tanya hakim."Tuan Hakim bisa memeriksanya langsung. Ia pikir segala yang ada di dunia ini miliknya. Coba tanyakan misalnya tentang jubah saya dan kuda saya, tentu semua diakui sebagai miliknya. Apalagi pula uang saya."Dengan kaget, sang tetangga berteriak, "Tetapi itu semua memang milikku!"Bagi sang hakim, bukti-bukti sudah cukup. Perkara putus.KI COKROhttp://www.blogger.com/profile/17161641128928539794noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-1279615065748368088.post-33317845727778452772010-03-10T09:34:00.001-08:002010-03-10T09:34:18.236-08:00keledai membaca Timur Lenk menghadiahi Nasrudin seekor keledai. Nasrudin menerimanya dengan senang hati. Tetapi Timur Lenk berkata,"Ajari keledai itu membaca. Dalam dua minggu, datanglah kembali ke mari, dan kita lihat hasilnya."Nasrudin berlalu, dan dua minggu kemudian ia kembali ke istana. Tanpa banyak bicara, Timur Lenk menunjuk ke sebuah buku besar. Nasrudin menggiring keledainya ke buku itu, dan membuka sampulnya.Si keledai menatap buku itu, dan tak lama mulai membalik halamannya dengan lidahnya. Terus menerus, dibaliknya setiap halaman sampai ke halaman akhir. Setelah itu si keledai menatap Nasrudin."Demikianlah," kata Nasrudin, "Keledaiku sudah bisa membaca."Timur Lenk mulai menginterogasi, "Bagaimana caramu mengajari dia membaca ?"Nasrudin berkisah, "Sesampainya di rumah, aku siapkan lembaran-lembaran besar mirip buku, dan aku sisipkan biji-biji gandum di dalamnya. Keledai itu harus belajar membalik-balik halam untuk bisa makan biji-biji gandum itu, sampai ia terlatih betul untuk membalik-balik halaman buku dengan benar.""Tapi," tukas Timur Lenk tidak puas, "Bukankah ia tidak mengerti apa yang dibacanya ?"Nasrudin menjawab, "Memang demikianlah cara keledai membaca: hanya membalik-balik halaman tanpa mengerti isinya. Kalau kita membuka-buka buku tanpa mengerti isinya, kita disebut setolol keledai, bukan ?"KI COKROhttp://www.blogger.com/profile/17161641128928539794noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-1279615065748368088.post-14422387892714709762010-03-10T09:12:00.000-08:002010-03-10T09:12:44.678-08:00siapa yang mengoda iblisSyetan rupanya sangat bangga dengan tugasnya, menggoda manusia untuk berbuat jahat. Namun manusia yang satu ini rupanya juga penasaran. Kalau begitu, siapa yang menggoda syetan? katanya dalam hati.<br />
<br />
Orang itu tak lain Mukidin, pertugas pentakmir masjid di dekat rumahnya. Dia sekarang makmur karena bisa korupsi di sana sini. Suatu ketika Mukidin bertanya pada seorang Kiai Sufi.<br />
<br />
“Pak Kiai, syetan itu kan punya tugas menggoda manusia, lalu siapa yang menggoda syetan?” tanyanya agak sombong<br />
<br />
“Ya kamu itu yang menggoda syetan!” kata Kiai seraya mengumbar tawa.<br />
Mukidin pun ikut tertawa sampai-sampai perutnya yang buncit itu berguncang-guncang.<br />
Suasana sejenak hening, dan Mukidin hanya tertunduk sambil merenungi dirinya. Benarkah dirinya bisa menggoda syetan, sedangkan syetan dari ujung rambut hingga kakinya pun belum ia kenal?<br />
<br />
Setelah beberapa bulan ia menyadari akan tindakan buruknya selama ini, ia bertobat lalu mendatangi Kiai Sufi itu.<br />
<br />
“Benar Pak Kiai, saya memang sering menggoda syetan,” katanya.<br />
<br />
“Ya, kalau kamu tidak menggodanya, syetan tidak berani menggodamu,” kata Kiai itu yang disambut manggut-manggut Mukidin<br />
sumber dari: sufinews.com<a href="http://sufinews.com/"></a>KI COKROhttp://www.blogger.com/profile/17161641128928539794noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-1279615065748368088.post-60925210388089692402010-03-10T09:05:00.001-08:002010-03-10T09:14:32.822-08:00takut miskin di akhiratMengingat harga-harga barang kebutuhan terus meningkat, seorang pemuda selalu mengeluh karena tak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya. Setelah berdiskusi dengan seorang kiai makrifat, pemuda itu pun mengikuti anjurannya untuk menjalankan shalat Hajat serta tetap istiqomah melaksanakan shalat wajib lima waktu.<br />
<br />
”Pak Kiai, tiga tahun sudah saya menjalankan ibadah sesuai anjuran Bapak. Setiap hari saya shalat Hajat semata-mata agar Allah SWT melimpahkan rezeki yang cukup. Namun, sampai saat ini saya masih saja miskin,” keluh si pemuda.<br />
<br />
“Teruskanlah dan jangan berhenti, Allah selalu mendengar doamu. Suatu saat nanti pasti Allah mengabulkannya. Bersabarlah!” Jawab sang kiai.<br />
<br />
”Bagaimana saya bisa bersabar, kalau semua harga kebutuhan serba naik! Sementara saya masih juga belum mendapat rezeki yang memadai. Bagaimana saya bisa memenuhi kebutuhan hidup?”<br />
<br />
”Ya tentu saja tetap dari Allah, pokoknya sabar, pasti ada jalan keluarnya. Teruslah beribadah.”<br />
<br />
”Percuma saja Pak Kiai. Setiap hari shalat lima waktu, shalat Hajat, shalat Dhuha, tapi Allah belum juga mengabulkan permohonan saya. Lebih baik saya berhenti saja beribadah…” jawab pemuda itu dengan kesal.<br />
<br />
”Kalau begitu, ya sudah. Pulang saja. Semoga Allah segera menjawab permintaanmu,” timpal kiai dengan ringan.<br />
<br />
Pemuda itu pun pulang. Rasa kesal masih menggelayuti hatinya hingga tiba di rumah. Ia menggerutu tak habis-habisnya hingga tertidur pulas di kursi serambi. Dalam tidur itu, ia bermimpi masuk ke dalam istana yng sangat luas, berlantaikan emas murni, dihiasi dengan lampu-lampu terbuat dari intan permata. Bahkan beribu wanita cantik jelita menyambutnya. Seorang permaisuri yang sangat cantik dan bercahaya mendekati si pemuda.<br />
<br />
”Anda siapa?” tanya pemuda.<br />
<br />
”Akulah pendampingmu di hari akhirat nanti.”<br />
<br />
”Ohh… lalu ini istana siapa?”<br />
<br />
”Ini istanamu, dari Allah. Karena pekerjaan ibadahmu di dunia.”<br />
<br />
”Ohh… dan taman-taman yang sangat indah ini juga punya saya?”<br />
<br />
”Betul!”<br />
<br />
”Lautan madu, lautan susu, dan lautan permata juga milik saya?”<br />
<br />
”Betul sekali.”<br />
<br />
Sang pemuda begitu mengagumi keindahan suasana syurga yang sangat menawan dan tak tertandingi. Namun, tiba-tiba ia terbangun dan mimpi itu pun hilang. Tak disangka, ia melihat tujuh mutiara sebesar telor bebek. Betapa senang hati pemuda itu dan ingin menjual mutiara-mutiara tersebut. Ia pun menemui sang kiai sebelum pergi ke tempat penjualan mutiara.<br />
<br />
“Pak Kiai, setelah bermimpi saya mendapati tujuh mutiara yang sangat indah ini. Akhirnya Allah menjawab doa saya,” kata pemuda penuh keriangan.<br />
<br />
”Alhamdulillah. Tapi perlu kamu ketahui bahwa tujuh mutiara itu adalah pahala-pahala ibadah yang kamu jalankan selama 3 tahun lalu.”<br />
<br />
”Ini pahala-pahala saya? Lalu bagaimana dengan syurga saya Pak Kiai?”<br />
<br />
”Tidak ada, karena Allah sudah membayar semua pekerjaan ibadahmu. Mudah-mudahan kamu bahagia di dunia ini. Dengan tujuh mutiara itu kamu bisa menjadi miliader.”<br />
<br />
”Ya Allah, aku tidak mau mutiara-mutiara ini. Lebih baik aku miskin di dunia ini daripada miskin di akhirat nanti. Ya Allah kumpulkan kembali mutiara-mutiara ini dengan amalan ibadah lainnya sampai aku meninggal nanti,” ujar pemuda itu sadar diri. Tujuh mutiara yang berada di depannya itu hilang seketika. Ia berjanji tak akan mengeluh dan menjalani ibadah lebih baik lagi demi kekayaan akhirat kelak. [dari guyon orang-orang makrifat<br />
dari sumber:http://sufimuda.wordpress.comKI COKROhttp://www.blogger.com/profile/17161641128928539794noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-1279615065748368088.post-61426572128098822792010-03-10T09:03:00.001-08:002010-03-10T09:03:48.370-08:00baginda meminta mahkota dari sorgaTidak seperti biasa, hari itu Baginda tiba-tiba ingin menyamar menjadi rakyat biasa. Beliau ingin menyaksikan kehidupan di luar istana tanpa sepengetahuan siapa pun agar lebih leluasa bergerak. Baginda mulai keluar istana dengan pakaian yang amat sederhana layaknya seperti rakyat jelata. Di sebuah perkampungan beliau melihat beberapa orang berkumpul. Setelah Baginda mendekat, ternyata seorang ulama sedang menyampaikan kuliah tentang alam barzah.<br />
<br />
Tiba-tiba ada seorang yang datang dan bergabung di situ. Ia bertanya kepada ulama itu. "Kami menyaksikan orang kafir pada suatu waktu dan mengintip kuburnya, tetapi kami tiada mendengar mereka berteriak dan tidak pula melihat penyiksaan-penyiksaan yang katanya sedang dialaminya. Maka bagaimana cara membenarkan sesuatu yang tidak sesuai dengan yang dilihat mata?"<br />
<br />
Ulama itu berpikir sejenak kemudian Ia berkata, "Untuk mengetahui yang demikian itu harus dengan panca indra yang lain. Ingatkah kamu dengan orang yang sedang tidur? Dia kadangkala bermimpi dalam tidurnya digigit ular, diganggu dan sebagainya. Ia juga merasa sakit dan takut ketika itu bahkan memekik dan keringat bercucuran pada keningnya. Ia merasakan hal semacam itu seperti ketika tidak tidur. Sedangkan engkau yang duduk di dekatnya menyaksikan keadaannya seolah-olah tidak ada apa-apa. Padahal apa yang dilihat serta dialaminya adalah dikelilingi ular-ular. Maka jika masalah mimpi yang remeh saja sudah tidak mampu mata lahir melihatnya, mungkinkah engkau bisa melihat apa yang terjadi di alam barzah?"<br />
<br />
Baginda Raja terkesan dengan penjelasan ulama itu. Baginda masih ikut mendengarkan kuliah itu. Kini ulama itu melanjutkan kuliahnya tentang alam akhirat. Dikatakan bahwa di surga tersedia hal-hal yang amat disukai nafsu, termasuk benda-benda. Salah satu benda-benda itu adalah mahkota yang amat luar biasa indahnya. Tak ada yang lebih indah dari barang-barang di surga karena barang-barang itu tercipta dari cahaya. Saking indahnya maka satu mahkota jauh lebih bagus dari dunia dan isinya.<br />
<br />
Baginda makin terkesan. Beliau pulang kembali ke istana. Baginda sudah tidak sabar ingin menguji kemampuan Abu Nawas. Abu Nawas dipanggil:<br />
<br />
"Aku menginginkan engkau sekarang juga berangkat ke surga kemudian bawakan aku sebuah mahkota surga yang katanya tercipta dari cahaya itu. Apakah engkau sanggup Abu Nawas?"<br />
"Sanggup Paduka yang mulia." kata Abu Nawas langsung menyanggupi tugas yang mustahil dilaksanakan itu.<br />
"Tetapi Baginda harus menyanggupi pula satu sarat yang akan hamba ajukan."<br />
"Sebutkan sarat itu." kata Baginda Raja.<br />
"Hamba mohon Baginda menyediakan pintunya agar hamba bisa memasukinya."<br />
"Pintu apa?" tanya Baginda belum mengerti. Pintu alam akhirat." jawab Abu Nawas.<br />
"Apa itu?" tanya Baginda ingin tahu. "Kiamat, wahai Paduka yang mulia. Masing-masing alam mempunyai pintu. Pintu alam dunia adalah liang peranakan ibu. Pintu alam barzah adalah kematian. Dan pintu alam akhirat adalah kiamat.<br />
<br />
Surga berada di alam akhirat. Bila Baginda masih tetap menghendaki hamba mengambilkan sebuah mahkota di surga, maka dunia harus kiamat terlebih dahulu." Mendengar penjelasan Abu Nawas Baginda Raja terdiam. Di sela-sela kebingungan Baginda Raja Harun Al Rasyid, Abu Nawas bertanya lagi,<br />
<br />
"Masihkah Baginda menginginkan mahkota dari surga?" Baginda Raja tidak menjawab. Beliau diam seribu bahasa, Sejenak kemudian Abu Nawas mohon diri karena Abu Nawas sudah tahu jawabnya.KI COKROhttp://www.blogger.com/profile/17161641128928539794noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-1279615065748368088.post-46979185916312588242010-03-10T09:02:00.000-08:002010-03-10T09:02:27.219-08:00Menjadi Hakim Kasus Dua Ibu Berebut BayiKisah ini mirip dengan kejadian pada masa Nabi Sulaiman ketika masih muda. Entah sudah berapa hari kasus seorang bayi yang diakui oleh dua orang ibu yang sama-sama ingin memiliki anak. Hakim rupanya mengalami kesulitan memutuskan dan menentukan perempuan yang mana sebenarnya yang menjadi ibu bayi itu. Karena kasus berlarut-larut, maka terpaksa hakim menghadap Baginda Raja untuk minta bantuan. Baginda pun turun tangan. Baginda memakai taktik rayuan.<br />
<br />
Baginda berpendapat mungkin dengan cara-cara yang amat halus salah satu, wanita itu ada yang mau mengalah. Tetapi kebijaksanaan Baginda Raja Harun Al Rasyid justru membuat kedua perempuan makin mati-matian saling mengaku bahwa bayi itu adalah anaknya. Baginda berputus asa. Mengingat tak ada cara-cara lain lagi yang bisa diterapkan Baginda memanggil Abu Nawas.<br />
<br />
Abu Nawas hadir menggantikan hakim. Abu Nawas tidak mau menjatuhkan putusan pada hari itu melainkan menunda sampai hari berikutnya. Semua yang hadir yakin Abu Nawas pasti sedang mencari akal seperti yang biasa dilakukan. Padahal penundaan itu hanya disebabkan algojo tidak ada di tempat. Keesokan hari sidang pengadilan diteruskan lagi. Abu Nawas memanggil algojo dengan pedang di tangan. Abu Nawas memerintahkan agar bayi itu diletakkan di atas meja. "Apa yang akan kau perbuat terhariap bayi itu?" kata kedua perempuan itu saling memandang.<br />
<br />
Kemudian Abu Nawas melanjutkan dialog. "Sebelum saya mengambil tindakan apakah salah satu dari kalian bersedia mengalah dan menyerahkan bayi itu kepada yang memang berhak memilikinya?"<br />
"Tidak, bayi itu adalah anakku." kata kedua perempuan itu serentak. "Baiklah, kalau kalian memang sungguh-sungguh sama menginginkan bayi itu dan tidak ada yang mau mengalah maka saya terpaksa membelah bayi itu menjadi dua sama rata." kata Abu Nawas mengancam.<br />
<br />
Perempuan pertama girang bukan kepalang, sedangkan perempuan kedua menjerit-jerit histeris. "Jangan, tolong jangan dibelah bayi itu. Biarlah aku rela bayi itu seutuhnya diserahkan kepada perempuan itu." kata perempuan kedua.<br />
<br />
Abu Nawas tersenyum lega. Sekarang topeng mereka sudah terbuka. Abu Nawas segera mengambil bayi itu dan langsung menyerahkan kepada perempuan kedua. Abu Nawas minta agar perempuan pertama dihukum sesuai dengan perbuatannya. Karena tak ada ibu yang tega menyaksikan anaknya disembelih. Apalagi di depan mata.<br />
<br />
"Abu Nawas kau hebat sekali," kata Baginda.<br />
"Sebenamya tidak Baginda."<br />
"Apa maksudmu?"<br />
"Hamba hanya menirukan apa yang telah diperbuat oleh Nabi Sulaiman di masa muda, inilah gunanya kita membaca sejarah." Baginda Raja merasa puas terhadap keputusan Abu Nawas. Dan sebagai rasa terima kasih, Baginda menawari Abu Nawas menjadi penasihat hakim kerajaan. Tetapi Abu Nawas menolak. Ia lebih senang menjadi rakyat biasa.KI COKROhttp://www.blogger.com/profile/17161641128928539794noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-1279615065748368088.post-50917521997896310012010-03-10T08:57:00.001-08:002010-03-10T08:57:41.765-08:00sufi menjual kambingSuatu malam seorang ulama Sufi bermimpi bahwa ia sedang menjual seekor kambing yang gemuk.<br />
<br />
"Berapa harga kambing ini ?" tanya seorang calon pembeli.<br />
<br />
"Dua belas dinar." kata sang sufi.<br />
<br />
"Tujuh dinar."<br />
<br />
"Tidak boleh."<br />
<br />
"Delapan dinar."<br />
<br />
"Tidak boleh."<br />
<br />
Ketika tawaran mencapai sembilan dinar, sang sufi terbangun dari tidurnya. Ia membuka kelopak matanya dan mengusapnya. Tak seekor kambingpun ia lihat. Pun tak ada calon pembeli. Cepat-cepat ia memejamkan matanya lagi sambil berkata.<br />
<br />
"Kalau begitu, baiklah, sembilan dinar boleh kamu ambil."KI COKROhttp://www.blogger.com/profile/17161641128928539794noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-1279615065748368088.post-16808183970797998212010-03-10T08:55:00.000-08:002010-03-10T08:55:29.326-08:00memindahkan istana ke gunungBaginda Raja baru saja membaca kitab tentang kehebatan Raja Sulaiman yang mampu memerintahkan, para jin memindahkan singgasana Ratu Bilqis di dekat istananya. Baginda tiba-tiba merasa tertarik. Hatinya mulai tergelitik untuk melakukan hal yang sama. Mendadak beliau ingin istananya dipindahkan ke atas gunung agar bisa lebih leluasa menikmati pemandangan di sekitar. Dan bukankah hal itu tidak mustahil bisa dilakukan karena ada Abu Nawas yang amat cerdik di negerinya.<br />
<br />
Tanpa membuang waktu Abu Nawas segera dipanggil untuk menghadap Baginda Raja Harun Al Rasyid. Setelah Abu Nawas dihadapkan, Baginda bersabda, "Abu Nawas engkau harus memindahkan istanaku ke atas gunung agar aku lebih leluasa melihat negeriku?" tanya Baginda sambil melirik reaksi Abu Nawas.<br />
<br />
Abu Nawas tidak langsung menjawab. Ia berpikir sejenak hingga keningnya berkerut. Tidak mungkin menolak perintah Baginda kecuali kalau memang ingin dihukum. Akhirnya Abu Nawas terpaksa menyanggupi proyek raksasa itu. Ada satu lagi, permintaan dari Baginda, pekerjaan itu harus selesai hanya dalam waktu sebulan. Abu Nawas pulang dengan hati masgul.<br />
<br />
Setiap malam ia hanya berteman dengan rembulan dan bintang-bintang. Hari-hari dilewati dengan kegundahan. Tak ada hari yang lebih berat dalam hidup Abu Nawas kecuali hari-hari ini. Tetapi pada hari kesembilan ia tidak lagi merasa gundah gulana. Keesokan harinya Abu Nawas menuju istana. Ia menghadap Baginda untuk membahas pemindahan istana. Dengan senang hati Baginda akan mendengarkan, apa yang diinginkan Abu Nawas.<br />
<br />
"Ampun Tuanku, hamba datang ke sini hanya untuk mengajukan usul untuk memperlancar pekerjaan hamba nanti." kata Abu Nawas.<br />
"Apa usul itu?"<br />
"Hamba akan memindahkan istana Paduka yang mulia tepat pada Hari Raya Idul Qurban yang kebetulan hanya kurang dua puluh hari lagi."<br />
"Kalau hanya usulmu, baiklah." kata Baginda.<br />
"Satu lagi Baginda..." Abu Nawas menambahkan.<br />
"Apa lagi?" tanya Baginda.<br />
"Hamba mohon Baginda menyembelih sepuluh ekor sapi yang gemuk untuk dibagikan langsung kepada para fakir miskin." kata Abu Nawas. "Usulmu kuterima." kata Baginda menyetujui. Abu Nawas pulang dengan perasaan riang gembira. Kini tidak ada lagi yang perlu dikhawatirkan. Toh nanti bila waktunya sudah tiba, ia pasti akan dengan mudah memindahkan istana Baginda Raja. Jangankan hanya memindahkan ke puncak gunung, ke dasar samudera pun Abu Nawas sanggup.<br />
<br />
Desas-desus mulai tersebar ke seluruh pelosok negeri. Hampir semua orang harap-harap cemas. Tetapi sebagian besar rakyat merasa yakin atas kemampuan Abu Nawas. Karena selama ini Abu Nawas belum pemah gagal melaksanakan tugas-tugas aneh yang dibebankan di atas pundaknya. Namun ada beberapa orang yang meragukan keberhasilan Abu Nawas kali ini. Saat-saat yang dinanti-nantikan tiba. Rakyat berbondong-bondong menuju lapangan untuk melakukan sholat Hari Raya Idul Qurban.<br />
<br />
Dan seusai sholat, sepuluh sapi sumbangan Baginda Raja disembelih lalu dimasak kemudian segera dibagikan kepada fakir miskin. Kini giliran Abu Nawas yang harus melaksanakan tugas berat itu. Abu Nawas berjalan menuju istana diikuti oleh rakyat. Sesampai di depan istana Abu Nawas bertanya kepada Baginda Raja, "Ampun Tuanku yang mulia, apakah istana sudah tidak ada orangnya lagi?"<br />
<br />
"Tidak ada." jawab Baginda Raja singkat. Kemudian Abu Nawas berjalan beberapa langkah mendekati istana. Ia berdiri sambil memandangi istana. Abu Nawas berdiri mematung seolah-olah ada yang ditunggu. Benar. Baginda Raja akhirnya tidak sabar.<br />
<br />
"Abu Nawas, mengapa engkau belum juga mengangkat istanaku?" tanya Baginda Raja.<br />
<br />
"Hamba sudah siap sejak tadi Baginda." kata Abu Nawas. "Apa maksudmu engkau sudah siap sejak tadi? Kalau engkau sudah siap. Lalu apa yang engkau tunggu?" tanya Baginda masih diliputi perasaan heran.<br />
<br />
"Hamba menunggu istana Paduka yang mulia diangkat oleh seluruh rakyat yang hadir untuk diletakkan di atas pundak hamba. Setelah itu hamba tentu akan memindahkan istana Paduka yang mulia ke atas gunung sesuai dengan titah Paduka." Baginda Raja Harun Al Rasyid terpana. Beliau tidak menyangka Abu Nawas masih bisa keluar dari lubang jarum.KI COKROhttp://www.blogger.com/profile/17161641128928539794noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-1279615065748368088.post-25048148536966748702010-03-10T08:49:00.001-08:002010-03-10T08:52:45.878-08:00kera tahan bau nasrudinIstri Nasruddin menginginkan binatang piaraan, maka ia membeli seekor kera. Nasruddin tidak senang.<br />
<br />
"Apa makanannnya?" tanyanya.<br />
"Sama dengan yg kita makan", jawab istrinya.<br />
<br />
"Dimana kera itu akan tidur?"<br />
"Di tempat tidur kita, bersama kita."<br />
<br />
"Bersama kita? Baunya bagaimana?"<br />
"Kalau saya saja betah dengan bau itu, saya kira kera juga tahan".KI COKROhttp://www.blogger.com/profile/17161641128928539794noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-1279615065748368088.post-16828695315684194512010-03-10T08:48:00.001-08:002010-03-10T08:48:47.076-08:00belum pernah melihat orang tololNasrudin membawa serantang makanan dari pasar. Karena kurang hati-hati, rantang itu jatuh dan isinya tumpah berantakan. Segara saja datang orang-orang berkerumun.<br />
<br />
"Hai para tolol," teriak Nasrudin sambil memungut rantang-rantangnya, "Apa kalian belum pernah melihat orang tolol?"KI COKROhttp://www.blogger.com/profile/17161641128928539794noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-1279615065748368088.post-19889854163503179162010-03-10T08:47:00.001-08:002010-03-10T08:47:41.096-08:00mengawal kotoran rajaAlkisah, Abunawas bertugas menjadi pengawal raja, kemanapun Raja pergi Abunawas selalu ada didekatnya .<br />
<br />
Raja membuat Undang Undang kebersihan lingkungan, yang pada salah satu fasalnya berbunyi, Dilarang berak di sungai kecuali Raja atau seijin Raja, pelanggaran atas fasal ini adalah hukuman mati.<br />
Suatu hari Raja mengajak Abunawas berburu ke hutan, ndilalah Raja kebelet berak, karena di hutan maka Raja berak di sungai yang airnya mengalir ke arah utara.<br />
<br />
Raja berak di suatu tempat, eee Abunawas ikut berak juga di sebelah selatan dari Raja, begitu Raja melihat ada kotoran lain selain kotoran nya, raja marah, dan diketahui yang berak adalah Abunawas .<br />
<br />
Abunawas dibawa ke pengadilan, Abunawas divonis hukuman mati, sebelum hukuman dilaksanakan, Abunawas diberi kesempatan membela diri, kata Abunawas<br />
<br />
"Raja yang mulia, aku rela dihukum mati, tapi aku akan sampaikan alasanku kenapa aku ikut berak bersama raja saat itu, itu adalah bukti kesetiaanku pada paduka raja, karena sampai kotoran Rajapun harus aku kawal dengan kootoranku, itulah pembelaanku dan alasanku Raja. Hukumlah aku."<br />
<br />
Abunawas yang divonis mati, diampuni dan malah diberi hadiah rumah dan perahu kecil untuk tempat kotoran nya mengawal kotoran raja.KI COKROhttp://www.blogger.com/profile/17161641128928539794noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-1279615065748368088.post-65533589788610295232010-03-10T08:44:00.003-08:002010-03-10T08:44:55.489-08:00Sekalian Saja Bawa SemuanyaNasruddin pernah bekerja pada seorang yang sangat kaya, tetapi seperti biasanya ia mendapatkan kesulitan dalam pekerjaannya. Pada suatu hari orang kaya itu memanggilnya, katanya, "Nashruddin kemarilah kau. Kau ini baik, tetapi lamban sekali. Kau ini tidak pernah mengerjakan satu pekerjaan selesai sekaligus. Kalau kau kusuruh beli tiga butir telur, kau tidak membelinya sekaligus. Kau pergi ke warung, kemudian kembali membawa satu telur, kemudian pergi lagi, balik lagi membawa satu telur lagi, dan seterusnya, sehingga untuk beli tiga telur kamu pergi tiga kali ke warung."<br />
<br />
Nashruddin menjawab, "Maaf, Tuan, saya memang salah. Saya tidak akan mengerjakan hal serupa itu sekali lagi. Saya akan mengerjakan sekaligus saja nanti supaya cepat beres."<br />
<br />
Beberapa waktu kemudian majikan Nashruddin itu jatuh sakit dan ia pun menyuruh Nashruddin pergi memanggil dokter.Tak lama kemudian Nashruddin pun kembali, ternyata ia tidak hanya membawa dokter, tetapi juga bebarapa orang lain.<br />
Ia masuk ke kamar orang kaya itu yang sedang berbaring di ranjang, katanya, "Dokter sudah datang, Tuan, dan yang lain-lain sudah datang juga." "Yang lain-lain? Tanya orang kaya itu. "Aku tadi hanya minta kamu memanggil dokter, yang lain-lain itu siapa?"<br />
<br />
"Begini Tuan!" jawab Nashruddin, "Dokter biasanya menyuruh kita minum obat. Jadi saya membawa tukang obat sekalian. Dan tukang obat itu tentunya membuat obatnya dari bahan yang bermacam-macam dan saya juga membawa orang yang berjualan bahan obat-obat-an bermacam-macam. Saya juga membawa penjual arang, karena biasanya obat itu direbus dahulu, jadi kita memerlukan tukang arang. Dan mungkin juga Tuan tidak sembuh dan malah mati. Jadi saya bawa sekalian tukang gali kuburan."KI COKROhttp://www.blogger.com/profile/17161641128928539794noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-1279615065748368088.post-58131161300499667942010-03-10T08:44:00.001-08:002010-03-10T08:44:22.008-08:00Disuruh Untuk Mengawasi Pintu Supaya Tidak Ada PencuriSuatu hari Nasrudin kecil ditinggal ibunya untuk pergi ke rumah Ibu RT. Sebelum pergi ibunya berkata kepada Nasrudin, “Nasrudin, kalau kamu sedang sendirian di rumah, kamu harus selalu mengawasi pintu rumah dengan penuh kewaspadaan. Jangan biarkan seorang pun yang tidak kamu kenal masuk ke dalam rumah karena bisa saja mereka itu ternyata pencuri!”<br />
<br />
Nasrudin memutuskan untuk duduk di samping pintu. Satu jam kemudian pamannya datang. “Mana ibumu?” tanya pamannya.<br />
<br />
“Oh, Ibu sedang pergi ke pasar,” jawab Nasrudin.<br />
<br />
“Keluargaku akan datang ke sini sore ini. Pergi dan katakan kepada Ibumu jangan pergi ke mana-mana sore ini!” kata pamannya.<br />
<br />
Begitu pamannya pergi Nasrudin mulai berpikir, “Ibu menyuruh aku untuk mengawasi pintu. Sedangkan Paman menyuruhku pergi untuk mencari Ibu dan bilang kepada Ibu kalau keluarga Paman akan datang sore ini.”<br />
<br />
Setelah bingung memikirkan jalan keluarnya, Nasrudin akhirnya membuat satu keputusan. Dia melepaskan pintu dari engselnya, menggotongnya sambil pergi mencari ibunya.KI COKROhttp://www.blogger.com/profile/17161641128928539794noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-1279615065748368088.post-11224788154082565642010-03-10T08:43:00.001-08:002010-03-10T08:43:43.785-08:00agar macan gak datangNasrudin lagi sibuk nyebarin serpihan serpihan roti di sekeliling rumahnya.<br />
<br />
"Eh, lagi ngapain kamu" tanya seseorang<br />
"Oh, ini biar macan pada gak datang ke mari."<br />
"Lho, tapi kan gak ada macan di daerah sini."<br />
"Tuh kan. saya bilang juga apa.. beneran berhasil, kan?"KI COKROhttp://www.blogger.com/profile/17161641128928539794noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-1279615065748368088.post-61131634909738863522010-03-10T08:41:00.001-08:002010-03-10T08:42:20.122-08:00asal usul ayam dan telurMelihat ayam betinanya bertelur, Baginda tersenyum. Beliau memanggil pengawal agar mengumumkan kepada rakyat bahwa kerajaan mengadakan sayembara untuk umum. Sayembara itu berupa pertanyaan yang mudah tetapi memerlukan jawaban yang tepat dan masuk akal. Barang siapa yang bisa menjawab pertanyaan itu akan mendapat imbalan yang amat menggiurkan. Satu pundi penuh uang emas: Tetapi bila tidak bisa menjawab maka hukuman yang menjadi akibatnya.<br />
<br />
Banyak rakyat yang ingin mengikuti sayembara itu terutama orang-orang miskin. Beberapa dari mereka sampai meneteskan air liur. Mengingat beratnya hukuman yang akan dijatuhkan maka tak mengherankan bila pesertanya hanya empat orang. Dan salah satu dari para peserta yang amat sedikit itu adalah Abu Nawas. Aturan main sayembara itu ada dua. Pertama, jawaban harus masuk akal. Kedua, peserta harus mampu menjawab sanggahan dari Baginda sendiri.<br />
<br />
Pada hari yang telah ditetapkan para peserta sudah siap di depan panggung. Baginda duduk di atas panggung. Beliau memanggil peserta pertama. Peserta pertama maju dengan tubuh gemetar. Baginda bertanya, "Manakah yang lebih dahulu, telur atau ayam?"<br />
"Telur." jawab peserta pertama.<br />
"Apa alasannya?" tanya Baginda. "Bila ayam lebih dahulu itu tidak mungkin karena ayam berasal dari telur." kata peserta pertama menjelaskan. "Kalau begitu siapa yang mengerami telur itu?" sanggah Baginda.<br />
<br />
Peserta pertama pucat pasi. Wajahnya mendadak berubah putih seperti kertas. Ia tidak bisa menjawab. Tanpa ampun ia dimasukkan ke dalam penjara. Kemudian peserta kedua maju. Ia berkata, "Paduka yang mulia, sebenamya telur dan ayam tercipta dalam waktu yang bersamaan."<br />
"Bagaimana bisa bersamaan?" tanya Baginda. "Bila ayam lebih dahulu itu tidak mungkin karena ayam berasal dari telur. Bila telur lebih dahulu itu juga tidak mungkin karena telur tidak bisa menetas tanpa dierami." kata peserta kedua dengan mantap.<br />
"Bukankah ayam betina bisa bertelur tanpa ayam jantan?" sanggah Baginda memojokkan. Peserta kedua bingung. Ia pun dijebloskan ke dalam penjara. Lalu giliran peserta ketiga. Ia berkata, "Tuanku yang mulia, sebenarnya ayam tercipta lebih dahulu daripada telur."<br />
"Sebutkan alasanmu." kata Baginda. "Menurut hamba, yang pertama tercipta adalah ayam betina." kata peserta ketiga meyakinkan. "Lalu bagaimana ayam betina bisa beranak-pinak seperti sekarang. Sedangkan ayam jantan tidak ada." kata Baginda memancing.<br />
"Ayam betina bisa bertelur tanpa ayam jantan. Telur dierami sendiri. Lalu menetas dan menurunkan anak ayam jantan. Kemudian menjadi ayam jantan dewasa dan mengawini induknya sendiri." peserta ketiga berusaha menjelaskan.<br />
<br />
"Bagaimana bila ayam betina mati sebelum ayam jantan yang sudah dewasa sempat mengawininya?" Peserta ketiga pun tidak bisa menjawab sanggahan Baginda. Ia pun dimasukkan ke penjara. Kini tiba giliran Abu Nawas. Ia berkata, "Yang pasti adalah telur dulu, baru ayam."<br />
"Coba terangkan secara logis." kata Baginda ingin tahu<br />
"Ayam bisa mengenal telur, sebaliknya telur tidak mengenal ayam." kata Abu Nawas singkat. Agak lama Baginda Raja merenung. Kali ini Baginda tidak bisa menyanggah alasan Abu Nawas dan terpaksa harus memberi uang dalam jumlah besar sebagai hadiah untuk Abu Nawas.KI COKROhttp://www.blogger.com/profile/17161641128928539794noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-1279615065748368088.post-14686963534602686252010-03-10T08:38:00.000-08:002010-03-10T08:38:30.796-08:00abunawas pura2 gilaAbu Nawas orang Persia yang dilahirkan pada tahun 750 M di Ahwaz meninggal pada tahun 819 M di Baghdad. Setelah dewasa ia mengembara ke Bashra dan Kufa. Di sana ia belajar bahasa Arab dan bergaul rapat sekali dengan orang-orang Badui Padang Pasir. Karena pergaulannya itu ia mahir bahasa Arab dan adat istiadat dan kegemaran orang Arab. Ia juga pandai bersyair, berpantun dan menyanyi. Ia sempat pulang ke negerinya, namun pergi lagi ke Baghdad bersama ayahnya, keduanya menghambakan diri kepada Sultan Harun Al Rasyid Raja Baghdad.<br />
<br />
Mari kita mulai kisah penggeli hati ini. Bapaknya Abu Nawas adalah Penghulu Kerajaan Baghdad bernama Maulana. Pada suatu hari bapaknya Abu Nawas yang sudah tua itu sakit parah dan akhirnya meninggal dunia. Abu Nawas dipanggil ke istana. Ia diperintah Sultan (Raja) untuk mengubur jenazah bapaknya itu sebagaimana adat Syeikh Maulana. Apa yang dilakukan Abu Nawas hampir tiada bedanya dengan Kadi Maulana baik mengenai tatacara memandikan jenazah hingga mengkafani, menyalati dan mendo'akannya.<br />
<br />
Maka Sultan bermaksud mengangkat Abu Nawas menjadi Kadi atau penghulu menggantikan kedudukan bapaknya. Namun, demi mendengar rencana sang Sultan. Tiba-tiba saja Abu Nawas yang cerdas itu tiba-tiba nampak berubah menjadi gila. Usai upacara pemakaman bapaknya. Abu Nawas mengambil batang sepotong batang pisang dan diperlakukannya seperti kuda, ia menunggang kuda dari batang pisang itu sambil berlari-lari dari kuburan bapaknya menuju rumahnya. Orang yang melihat menjadi terheran-heran dibuatnya.<br />
<br />
Pada hari yang lain ia mengajak anak-anak kecil dalam jumlah yang cukup banyak untuk pergi ke makam bapaknya. Dan di atas makam bapaknya itu ia mengajak anak-anak bermain rebana dan bersuka cita. Kini semua orang semakin heran atas kelakuan Abu Nawas itu, mereka menganggap Abu Nawas sudah menjadi gila karena ditinggal mati oleh bapaknya.<br />
<br />
Pada suatu hari ada beberapa orang utusan dari Sultan Harun Al Rasyid datang menemui Abu Nawas. "Hai Abu Nawas kau dipanggil Sultan untuk menghadap ke istana." kata Wazir utusan Sultan.<br />
<br />
"Buat apa sultan memanggilku, aku tidak ada keperluan dengannya." jawab Abu Nawas dengan entengnya seperti tanpa beban.<br />
<br />
"Hai Abu Nawas kau tidak boleh berkata seperti itu kepada rajamu."<br />
<br />
"Hai wazir, kau jangan banyak cakap. Cepat ambil ini kudaku ini dan mandikan di sungai supaya bersih dan segar." kata Abu Nawas sambil menyodorkan sebatang pohon pisang yang dijadikan kuda-kudaan. Si wazir hanya geleng-geleng kepala melihat kelakuan Abu Nawas.<br />
<br />
"Abu Nawas kau mau apa tidak menghadap Sultan?" kata wazir. "Katakan kepada rajamu, aku sudah tahu maka aku tidak mau." kata Abu Nawas.<br />
<br />
"Apa maksudnya Abu Nawas?" tanya wazir dengan rasa penasaran. "Sudah pergi sana, bilang saja begitu kepada rajamu." segera Abu Nawas sembari menyaruk debu dan dilempar ke arah si wazir dan teman-temannya.<br />
<br />
Si wazir segera menyingkir dari halaman rumah Abu Nawas. Mereka laporkan keadaan Abu Nawas yang seperti tak waras itu kepada Sultan Harun Al Rasyid. Dengan geram Sultan berkata, "Kalian bodoh semua, hanya menhadapkan Abu Nawas kemari saja tak becus! Ayo pergi sana ke rumah Abu Nawas bawa dia kemari dengan suka rela ataupun terpaksa!"<br />
<br />
Si wazir segera mengajak beberapa prajurit istana. Dan dengan paksa Abu Nawas di hadirkan di hariapan raja. Namun lagi-lagi di depan raja Abu Nawas berlagak pilot bahkan tingkahnya ugal-ugalan tak selayaknya berada di hariapan seorang raja. "Abu Nawas bersikaplah sopan!" tegur Baginda.<br />
<br />
"Ya Baginda, tahukah Anda?"<br />
"Apa Abu Nawas...?"<br />
"Baginda... terasi itu asalnya dari udang !"<br />
"Kurang ajar kau menghinaku Nawas !"<br />
"Tidak Baginda Siapa bilang udang berasal dari terasi?" Baginda merasa dilecehkan, ia naik pitam dan segera memberi perintah kepada para pengawalnya. "Hajar dia! Pukuli dia sebanyak dua puluh lima kali."<br />
<br />
Wah-wah! Abu Nawas yang kurus kering itu akhirnya lemas tak berdaya dipukuli tentara yang bertubuh kekar. Usai dipukuli Abu Nawas disuruh keluar istana. Ketika sampai di pintu gerbang kota, ia dicegat oleh penjaga.<br />
<br />
"Hai Abu Nawas! Tempo hari ketika kau hendak masuk ke kota ini kita telah mengadakan perjanjian. Masak kau lupa pada janjimu itu? Jika engkau diberi hadiah oleh Baginda maka engkau berkata: Aku bagi dua; engkau satu bagian, aku satu bagian. Nah, sekarang mana bagianku itu?"<br />
<br />
"Hai penjaga pintu gerbang, apakah kau benar-benar menginginkan hadiah Baginda yang diberikan kepada tadi?"<br />
<br />
"Iya, tentu itu kan sudah merupakan perjanjian kita?"<br />
<br />
"Baik, aku berikan semuanya, bukan hanya satu bagian!"<br />
<br />
"Wah ternyata kau baik hati Abu Nawas. Memang harusnya begitu, kau kan sudah sering menerima hadiah dari Baginda."<br />
<br />
Tanpa banyak cakap lagi Abu Nawas mengambil sebatang kayu yang agak besar lalu orang itu dipukulinya sebanyak dua puluh lima kali. Tentu saja orang itu menjerit-jerit kesakitan dan menganggap Abu Nawas telah menjadi gila. Setelah penunggu gerbang kota itu klenger Abu Nawas meninggalkannya begitu saja, ia terus melangkah pulang ke rumahnya. Sementara itu si penjaga pintu gerbang mengadukan nasibnya kepada Sultan Harun Al Rasyid.<br />
<br />
"Ya, Tuanku Syah Alam, ampun beribu ampun. Hamba datang kemari mengadukan Abu Nawas yang telah memukul hamba sebanyak dua puluh lima kali tanpa suatu kesalahan. Hamba mohom keadilan dari Tuanku Baginda."<br />
<br />
Baginda segera memerintahkan pengawal untuk memanggil Abu Nawas. Setelah Abu Nawas berada di hariapan Baginda ia ditanya.<br />
<br />
"Hai Abu Nawas! Benarkah kau telah memukuli penunggu pintu gerbang kota ini sebanyak dua puluh lima kali pukulan?"<br />
<br />
Berkata Abu Nawas, "Ampun Tuanku, hamba melakukannya karena sudah sepatutnya dia menerima pukulan itu."<br />
<br />
"Apa maksudmu? Coba kau jelaskan sebab musababnya kau memukuli orang ftu?" tanya Baginda.<br />
<br />
"Tuanku," kata Abu Nawas, "Hamba dan penunggu pintu gerbang ini telah mengadakan perjanjian bahwa jika hamba diberi hadiah oleh Baginda maka hadiah tersebut akan dibagi dua. Satu bagian untuknya satu bagian untuk saya; Nah pagi tadi hamba menerima hadiah dua puluh lima kali pukulan, maka saya berikan pula hadiah dua puluh lima kali pukulan kepadanya."<br />
<br />
"Hai penunggu pintu gerbang, benarkah kau telah mengadakan perjanjian seperti itu dengan Abu Nawas?" tanya Baginda. "Benar Tuanku," jawab penunggu pintu gerbang. "Tapi, hamba tiada mengira jika Baginda memberikan hadiah pukulan."<br />
<br />
"Hahahahaha...! Dasar tukang peras, sekarang kena batunya kau!" sahut Baginda. "Abu Nawas tiada bersalah, bahkan sekarang aku tahu bahwa penjaga pintu gerbang kota Baghdad adalah orang yang suka narget, suka memeras orang! Kalau kau tidak merubah kelakuan burukmu itu sungguh aku akan memecat dan menghukum kamu!"<br />
<br />
"Ampun Tuanku," sahut penjaga pintu gerbang dengan gemetar. Abu Nawas berkata, "Tuanku, hamba sudah lelah, sudah mau istirahat, tiba-tiba diwajibkan hadir di tempat ini, padahal hamba tiada bersalah. Hamba mohon ganti rugi. Sebab jatah waktu istirahat hamba sudah hilang karena panggilan Tuanku. Padahal besok hamba harus mencari nafkah untuk keluarga hamba." Sejenak Baginda melengak, terkejut atas protes Abu Nawas, namun tiba-tba ia tertawa terbahakbahak,<br />
<br />
"Hahahaha... jangan kuatir Abu Nawas. "Baginda kemudian memerintahkan bendahara kerajaan memberikan sekantong uang perak kepada Abu Nawas. Abu Nawas pun pulang dengan hati gembira. Tetapi sesampai di rumahnya Abu Nawas masih bersikap aneh dan bahkan semakin nyentrik seperti orang gila sungguhan. Pada suatu hari Raja Harun Al Rasyid mengadakan rapat dengan para menterinya.<br />
<br />
"Apa pendapat kalian mengenai Abu Nawas yang hendak ku angkat sebagai kadi?"<br />
<br />
Wazir atau perdana meneteri berkata, "Melihat keadaan Abu Nawas yang semakin parah otaknya maka sebaiknya Tuanku mengangkat orang lain saja menjadi kadi."<br />
<br />
Menteri-menteri yang lain juga mengutarakan pendapat yang sama. "Tuanku, Abu Nawas telah menjadi gila karena itu dia tak layak menjadi kadi."<br />
<br />
"Baiklah, kita tunggu dulu sampai dua puluh satu hari, karena bapaknya baru saja mati. Jika tidak sembuh-sembuh juga bolehlah kita mencari kadi yang lain saja." Setelah lewat satu bulan Abu Nawas masih dianggap gila, maka Sultan Harun Al Rasyid mengangkat orang lain menjadi kadi atau penghulu kerajaan Baghdad. Konon dalam suatu pertemuan besar ada seseorang bemama Polan yang sejak lama berambisi menjadi Kadi. Ia mempengaruhi orang-orang di sekitar Baginda untuk menyetujui jika ia diangkat menjadi Kadi, maka tatkala ia mengajukan dirinya menjadi Kadi kepada Baginda maka dengan mudah Baginda menyetujuinya.<br />
<br />
Begitu mendengar Polan diangkat menjadi kadi maka Abu Nawas mengucapkan syukur kepada Tuhan. "Alhamdulillah... aku telah terlepas dari balak yang mengerikan. Tapi, sayang sekali kenapa harus Polan yang menjadi Kadi, kenapa tidak yang lain saja."<br />
<br />
Mengapa Abu Nawas bersikap seperti orang gila? Ceritanya begini:<br />
<br />
Pada suatu hari ketika ayahnya sakit parah dan hendak meninggal dunia ia panggil Abu Nawas untuk menghadap. Abu Nawas pun datang mendapati bapaknya yang sudah lemah lunglai. Berkata bapaknya,<br />
<br />
"Hai anakku, aku sudah hampir mati. Sekarang ciumlah telinga kanan dan telinga kiriku." Abu Nawas segera menuruti permintaan terakhir bapaknya. Ia cium telinga kanan bapaknya, ternyata berbau harum, sedangkan yang sebelah kiri berbau sangat busuk.<br />
<br />
"Bagamaina anakku? Sudah kau cium?"<br />
"Benar Bapak!"<br />
"Ceritakankan dengan sejujurnya, baunya kedua telingaku ini."<br />
"Aduh Pak, sungguh mengherankan, telinga Bapak yang sebelah kanan berbau harum sekali. Tapi... yang sebelah kiri kok baunya amat busuk?"<br />
"Hai anakku Abu Nawas, tahukah apa sebabnya bisa terjadi begini?"<br />
"Wahai bapakku, cobalah ceritakan kepada anakmu ini."<br />
<br />
Berkata Syeikh Maulana. "Pada suatu hari datang dua orang mengadukan masalahnya kepadaku. Yang seorang aku dengarkan keluhannya. Tapi yang seorang lagi karena aku tak suka maka tak kudengar pengaduannya. Inilah resiko menjadi Kadi (Penghulu). Jia kelak kau suka menjadi Kadi maka kau akan mengalami hal yang sama, namun jika kau tidak suka menjadi Kadi maka buatlah alasan yang masuk akal agar kau tidak dipilih sebagai Kadi oleh Sultan Harun Al Rasyid. Tapi tak bisa tidak Sultan Harun Al Rasyid pastilah tetap memilihmu sebagai Kadi."<br />
<br />
Nah, itulah sebabnya Abu Nawas pura-pura menjadi gila. Hanya untuk menghindarkan diri agar tidak diangkat menjadi kadi, seorang kadi atau penghulu pada masa itu kedudukannya seperti hakim yang memutus suatu perkara. Walaupun Abu Nawas tidak menjadi Kadi namun dia sering diajak konsultasi oleh sang Raja untuk memutus suatu perkara. Bahkan ia kerap kali dipaksa datang ke istana hanya sekedar untuk menjawab pertanyaan Baginda Raja yang aneh-aneh dan tidak masuk akal.KI COKROhttp://www.blogger.com/profile/17161641128928539794noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-1279615065748368088.post-23042496063231739512010-03-10T08:34:00.003-08:002010-03-10T08:34:49.938-08:00gara-gara raja ingin memburu harta karunAbu Nawas gusar bukan kepalang. Tadi pagi beberapa pekerja kerajaan atas perintah Baginda Raja membongkar rumah dan terus menggali tanpa bisa dicegah. Kata mereka tadi malam Baginda bermimpi bahwa di bawah rumah Abu Nawas terpendam emas dan permata yang tak ternilai harganya. Tetapi setelah mereka terus menggali ternyata emas dan permata itu tidak ditemukan. Dan Baginda juga tidak meminta maaf kepada Abu Nawas. Apalagi mengganti kerugian.<br />
<br />
Inilah yang membuat Abu Nawas gusar marah dan dendam. Lama Abu Nawas memeras otak, namun belum juga ia menemukan muslihat untuk membalas Baginda. Makanan yang dihidangkan oleh istrinya tidak dimakan karena nafsu makannya lenyap. Malam pun tiba, namun Abu Nawas tetap tidak beranjak.<br />
<br />
Keesokan hari Abu Nawas melihat lalat-lalat mulai menyerbu makanan Abu Nawas yang sudah basi. Ia tiba-tiba tertawa riang.<br />
<br />
"Tolong ambilkan kain penutup untuk makananku dan sebatang besi." Abu Nawas berkata kepada istrinya.<br />
"Untuk apa?" tanya istrinya heran.<br />
"Membalas Baginda Raja." kata Abu Nawas singkat.<br />
<br />
Dengan muka berseri-seri Abu Nawas berangkat menuju istana. Setiba di istana Abu Nawas membungkuk hormat dan berkata, "Ampun Tuanku, hamba menghadap Tuanku Baginda hanya untuk mengadukan perlakuan tamutamu yang tidak diundang. Mereka memasuki rumah hamba tanpa ijin dari hamba dan berani memakan makanan hamba."<br />
<br />
"Siapakah tamu-tamu yang tidak diundang itu wahai Abu Nawas?" sergap Baginda kasar.<br />
"Lalat-lalat ini, Tuanku." kata Abu Nawas sambil membuka penutup piringnya. "Kepada siapa lagi kalau bukan kepada Baginda junjungan hamba, hamba mengadukan perlakuan yang tidak adil ini."<br />
"Lalu keadilan yang bagaimana yang engkau inginkan dariku?"<br />
"Hamba hanya menginginkan ijin tertulis dari Baginda sendiri agar hamba bisa dengan leluasa menghukum lalat-lalat itu."<br />
<br />
Baginda Raja tidak bisa mengelakkan diri menolak permintaan Abu Nawas karena pada saat itu para menteri sedang berkumpul di istana. Maka dengan terpaksa Baginda membuat surat ijin yang isinya memperkenankan Abu Nawas memukul lalat-lalat itu di manapun mereka hinggap.<br />
<br />
Tanpa menunggu perintah Abu Nawas mulai mengusir lalat-lalat di piringnya hingga mereka terbang dan hinggap di sana sini. Dengan tongkat besi yang sudah sejak tadi dibawanya dari rumah, Abu Nawas mulai mengejar dan memukuli lalat-lalat itu. Ada yang hinggap di kaca. Abu Nawas dengan leluasa memukul kaca itu hingga hancur, kemudian vas bunga yang indah, kemudian giliran patung hias sehingga sebagian dari istana dan perabotannya remuk diterjang tongkat besi Abu Nawas. Bahkan Abu Nawas tidak merasa malu memukul lalat yang kebetulan hinggap di tempayan Baginda Raja. Baginda Raja tidak bisa berbuat apa-apa kecuali menyadari kekeliruan yang telah dilakukan terhadap Abu Nawas dan keluarganya.<br />
<br />
Dan setelah merasa puas, Abu Nawas mohon diri. Barang-barang kesayangan Baginda banyak yang hancur. Bukan hanya itu saja, Baginda juga menanggung rasa malu. Abu Nawas pulang dengan perasaan lega. Istrinya pasti sedang menunggu di rumah untuk mendengarkan cerita apa yang dibawa dari istana.KI COKROhttp://www.blogger.com/profile/17161641128928539794noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-1279615065748368088.post-26464848389423718252010-03-10T08:33:00.001-08:002010-03-10T08:33:26.135-08:00nasrudin dan 3 orang bijakPada suatu hari ada tiga orang bijak yang pergi berkeliling negeri untuk mendapatkan jawaban atas pertanyaan yang mendesak. Sampailah mereka pada suatu hari di desa Nasrudin. Orang-orang desa ini menyodorkan Nasrudin sebagai wakil orang-orang yang bijak di desa tersebut. Nasrudin dipaksa berhadapan dengan tiga orang bijak itu dan di sekeliling mereka berkumpullah orang-orang desa menonton mereka bicara.<br />
<br />
Orang bijak pertama bertanya kepada Nasrudin, "Di mana sebenarnya pusat bumi ini?"<br />
Nasrudin menjawab, "Tepat di bawah telapak kaki saya, saudara."<br />
"Bagaimana bisa saudara buktikan hal itu?" tanya orang bijak pertama tadi.<br />
"Kalau tidak percaya," jawab Nasrudin, "Ukur saja sendiri."<br />
Orang bijak yang pertama diam tak bisa menjawab.<br />
<br />
Tiba giliran orang bijak kedua mengajukan pertanyaan. "Berapa banyak jumlah bintang yang ada di langit?"<br />
Nasrudin menjawab, "Bintang-bintang yang ada di langit itu jumlahnya sama dengan rambut yang tumbuh di keledai saya ini."<br />
"Bagaimana saudara bisa membuktikan hal itu?"<br />
Nasrudin menjawab, "Nah, kalau tidak percaya, hitung saja rambut yang ada di keledai itu, dan nanti saudara akan tahu kebenarannya."<br />
"Itu sih bicara goblok-goblokan," tanya orang bijak kedua, "Bagaimana orang bisa menghitung bulu keledai."<br />
Nasrudin pun menjawab, "Nah, kalau saya goblok, kenapa Anda juga mengajukan pertanyaan itu, bagaimana orang bisa menghitung bintang di langit?"<br />
Mendengar jawaban itu, si bijak kedua itu pun tidak bisa melanjutkan.<br />
<br />
Sekarang tampillah orang bijak ketiga yang katanya paling bijak di antara mereka. Ia agak terganggu oleh kecerdikan nasrudin dan dengan ketus bertanya, "Tampaknya saudara tahu banyak mengenai keledai, tapi coba saudara katakan kepada saya berapa jumlah bulu yang ada pada ekor keledai itu." "Saya tahu jumlahnya," jawab Nasrudin, "Jumlah bulu yang ada pada ekor kelesai saya ini sama dengan jumlah rambut di janggut Saudara."<br />
"Bagaimana Anda bisa membuktikan hal itu?" tanyanya lagi. "Oh, kalau yang itu sih mudah. Begini, Saudara mencabut selembar bulu dari ekor keledai saya, dan kemudian saya mencabut sehelai rambut dari janggut saudara. Nah, kalau sama, maka apa yang saya katakan itu benar, tetapi kalau tidak, saya keliru."<br />
<br />
Tentu saja orang bijak yang ketiga itu tidak mau menerima cara menghitung seperti itu. Dan orang-orang desa yang mengelilingi mereka itu semakin yakin Nasrudin adalah yang terbijak di antara keempat orang tersebut.KI COKROhttp://www.blogger.com/profile/17161641128928539794noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-1279615065748368088.post-53096549060546265082010-03-10T08:30:00.003-08:002010-03-10T08:30:56.602-08:00Kabayan dan Abu Nawas Membahas MatematikaDi suatu tempat Kabayan bertemu Abu Nawas untuk membahas masalah matematika.<br />
Kabayan : “Abah Abu, sebenarnya saya ini bukan ahli matematika nih. Cuma, saya diundang berseminar matematika di sini. Menurut Abah Abu, saya harus bagaimana nih?”<br />
Abu Nawas : “Kang Kabayan, memangnya materi apa yang akan disampaikan pada seminar kali ini?”<br />
Kabayan : “Sebenarnya sih sederhana saja, panitia meminta saya menyampaikan tentang persamaan. Cuma mereka minta agar persamaan itu tak dibahas secara matematis, tapi dengan cara-cara yang sederhana (kalau bisa sih lucu) dan mudah dipahami oleh orang-orang biasa. Makanya saya ikut seminar ini. Kalau diminta membahas secara matematis sih, wah saya tak sanggup deh....”<br />
Abu Nawas : “Oh begitu ya...? Coba nih saya tanya, kira-kira Kang Kabayan menyelesaikan persamaan (8-x)/3 + 2 = 4 ini bagaimana?”<br />
Kabayan : “Secara matematis yang tepat sih, saya tak bisa menjelaskannya. Mungkin saya akan ditertawakan oleh para matematikawan-matematikawan itu. Saya bisanya dengan kata-kata saja..., dengan cara saya, seperti yang diminta panitia.”<br />
Abu Nawas: “Memangnya bagaimana? Saya juga tak mengerti bila diminta menjelaskan secara matematis. Soal tadi itu juga saya dapatkan dari kawan saya yang bertanya ke saya, dan saya tak bisa menjelaskannya secara matematis. Coba deh, menurutmu bagaimana cara penyelesaian persamaan tersebut?”<br />
Kabayan : “Ah, Abah Abu merendah saja....”<br />
Abu Nawas: “Serius! Saya benar-benar tidak bisa.” (kali ini tampak wajah Abu Nawas terlihat serius)<br />
Kabayan : “Baiklah kalau begitu. Begini menurut saya, persamaan itu saya ibaratkan sebuah timbangan dengan “dua tangan”. Tanda sama dengan berarti seimbang.” Abu Nawas menyimak Kabayan dengan sungguh-sungguh.<br />
Kabayan: “Berarti, untuk menyelesaikan persamaan tersebut ((8-x)/3 + 2 = 4), mudahnya begini saja. Saya ibaratkan 4 itu empat buah semangka berukuran sama yang terletak di sebelah kanan timbangan. Dan di sebelah kiri, (8-x)/3 + 2 itu berarti banyaknya semangka yang saya sendiri belum tahu berapa banyaknya ditambah dua semangka.” (Yang dimaksud Kabayan dengan banyaknya semangka yang ia belum tahu berapa banyaknya adalah (8-x)/3 ).<br />
Abu Nawas: “Ya... ya ..., terus?”<br />
Kabayan: “Nah, karena di sebelah kiri sudah jelas ada 2 semangka dan sebelah kanan ada 4 semangka, berarti bagian yang saya belum tahu ((8-x)/3 ) itu sebenarnya berjumlah 2 buah semangka. Jadinya, saya bisa tulis (8-x)/3 = 2.” Kabayan tampak terdiam beberapa saat, memperhatikan persamaan baru ((8-x)/3 = 2) yang diperolehnya. Kemudian, segera setelah itu ia melanjutkan penjelasannya....<br />
Kabayan: “(8-x)/3 = 2, artinya banyaknya suatu semangka (8-x) bila dibagi 3 sama saja dengan 2. Berarti banyaknya semangka tersebut pasti adalah 6. Makanya berarti 8-x = 6.” Belum sempat melanjutkan penjelasannya, Abu Nawas segera berseru dan mengatakan begini.<br />
Abu Nawas: “Saya mengerti, saya mengerti.... Jadinya, karena 8-x = 6, artinya delapan semangka dikurangi berapa semangka (nilai x) hasilnya 6 kan? Pasti banyaknya semangka itu (di persamaan ini diberi symbol x) adalah 2, benar kan?”<br />
Kabayan: “Ya benar.... Tuh kan, Abah Abu cuma merendah saja....”<br />
Abu Nawas: “Ah *engga* juga, kamu benar-benar bagus penjelasannya. Makanya saya gampang mengerti.”<br />
<br />
Abu Nawas tertawa gembira, karena ia mengerti penjelasan Kabayan. Kemudian, ia pun bercerita pada Kabayan bahwa ia diundang ke seminar ini pun bukan karena ia mengerti matematika. Tapi, ia diminta panitia untuk menjelaskan sastra (bahasa) terkait dengan matematika. Karena katanya, Matematika itu adalah bahasa juga, tapi berupa bahasa symbol.<br />
<br />
Abu Nawas: “Sekarang saya jadi mengerti persamaan itu apa. Ini memudahkan saya untuk bercerita tentang matematika sebagai bahasa symbol nanti siang”, begitu kata Abu Nawas dengan nada optimis.<br />
Kabayan: “Sekarang, gantian saya yang mau bertanya nih sama Abah Abu....”<br />
Abu Nawas: “Ah kang Kabayan, jangan nanya yang susah-susah ya...?”<br />
Kabayan: “Justru ini pertanyaan susah yang belum bisa saya jawab. Begini ceritanya, seminggu yang lalu presiden memberi potongan hukuman bagi para tahanan. Bahwa semua tahanan diberi potongan berupa setengah dari masa hukuman yang harus dijalani tiap tahanan tersebut. Untuk tahanan yang dihukum 10 tahun, karena dipotong setengahnya, jadinya ia cuma tinggal menjalani hukuman 5 tahun saja. Bila seorang tahanan dihukum 20 tahun, karena dipotong setengahnya jadinya tinggal 10 tahun saja. Begitu seterusnya. Ketetapan ini sudah diputuskan oleh presiden dan tak bisa diubah!”<br />
Abu Nawas: “Terus, masalahnya apa?”<br />
Kabayan: “Ini sebenarnya masalah matematika juga, cuma matematikawan-matematikawan di negeri saya tak ada yang sanggup menjawabnya. Masalahnya begini, karena ada tahanan yang dihukum seumur hidup (sampai sang tahanan tersebut meninggal), artinya kan harus ditentukan berapa lama sisanya ia akan dihukum? Padahal tak ada yang tahu kapan seseorang itu meninggal. Tak ada yang tahu berapa lama umur seseorang itu. Masalah ini jadi heboh di seluruh Indonesia dikarenakan presiden dengan ceroboh menetapkan kebijakannya tersebut. Belum ada yang bisa memecahkannya. Paranormal seperti dukun, tukang ramal nasib, tukang tenung, mentalist (semisal Dedi Corbuzier) dan sebangsanya itu tak bisa memecahkannya. Cendekiawan yang terkenal cerdik pun semisal Gus Dur dibikin repot karenanya (padahal Gus Dur terkenal dengan perkataannya, “Gitu aja kok repot.” Tapi, kali ini benar-benar ia repot dibuatnya). Para matematikawan pun yang pintar-pintar itu angkat tangan mencari solusinya. Dan ini menjadi isu nasional. Jadi, bagaimana Abah Abu menyelesaikannya?”<br />
Abu Nawas: “Ooooh begitu ya? Berat juga masalahnya kalau begitu. Tapi, beri saya waktu sepuluh menit saja, saya habiskan dulu ya makanan saya....” Kabayan pun mempersilakan Abu Nawas menghabiskan makanannya. Sambil makan, tampak Abu Nawas berfikir dengan serius. Dan, segera setelah habis makanannya, tampak cerialah wajah Abu Nawas, pertanda ia punya pemecahan masalah tersebut.<br />
Abu Nawas: “Hahaa.... Menurut saya begini saja, masalah ini bisa diselesaikan dengan konsep persamaan yang telah kamu jelaskan tadi....”<br />
Kabayan: “Oh ya...? Bagaimana?”<br />
Abu Nawas: “Karena persamaan itu menurutmu berarti seimbang, atau keseimbangan, masalah pemotongan masa hukuman tersebut ya mudah saja diselesaikan. Begini caranya, supaya orang yang dihukum seumur hidup itu dapat potongan hukuman setengah masa hidupnya, cara menghukumnya begini saja. Sehari ia ditahan, sehari ia dibebaskan, begitu seterusnya hingga ia meninggal. Seimbang bukan, seperti persamaan kan?”<br />
Kabayan: “Subhanallah, Alhamdulillah... benar-benar penyelesaian yang sangat cantik, dan sesuai konsep persamaan. Luar biasa, luuuuuuuuuuuuar biasa! Saya bersyukur bisa bertemu Abah Abu di tempat ini. Terimakasih ya Abah Abu....”KI COKROhttp://www.blogger.com/profile/17161641128928539794noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-1279615065748368088.post-34859966578417886462010-03-10T08:30:00.001-08:002010-03-10T08:30:02.988-08:00menebak isi tangan"Menurut pandangan umum, para Sufi itu gila," gumam Nasrudin. "Menurut para orang bijak, mereka benar-benar penguasa dunia. Aku akan mengeceknya, supaya aku sendiri bisa yakin mana yang benar."<br />
<br />
Kemudian ia melihat seseorang yang tinggi besar, mengenakan jubah seperti seorang Sufi Akldan.<br />
<br />
"Sahabat," kata Nasrudin, "aku ingin membuat sebuah percobaan untuk menguji kekuatan jiwamu, dan juga kesehatan rohaniku."<br />
<br />
"Boleh. Silakan mulai," kata sang Akldan.<br />
<br />
Nasrudin membuat gerakan menyapu dengan tangannya, kemudian mengepalkan kedua tangannya. "Sekarang, apa yang ada ditanganku?"<br />
<br />
"Seekor kuda, kereta dan sais," ujar sang Alsldan cepat.<br />
<br />
"Itu sih bukan test," ujar Nasrudin marah, "Habis kamu sih tadi melihat aku mengambilnya."KI COKROhttp://www.blogger.com/profile/17161641128928539794noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-1279615065748368088.post-23203794134549256062010-03-10T08:28:00.001-08:002010-03-10T08:28:51.716-08:00Membayar Nadzar Hewan yang Memiliki Tanduk Satu Jengkal Kaki ManusiaDi negeri Persia hiduplah seorang lelaki yang bernama Abdul Hamid Al-Kharizmi, lelaki ini adalah seorang saudagar yang kaya raya di daerahnya, tetapi sayang usia perkawinannya yang sudah mencapai lima tahun tidak juga dikaruniai seorang anak. Pada suatu hari, setelah shalat Ashar di Mesjid ia bernazar, “ya Allah swt. jika engkau mengaruniai aku seorang anak maka akan kusembelih seekor kambing yang memiliki tanduk sebesar jengkal manusia”. Setelah ia pulang dari mesjid, istrinya yang bernama Nazariah berteriak dari jendela rumahnya:<br />
<br />
Nazariah : “hai, hoi, cuit-cuit, suamiku tercinta, aku sayang kepadamu, ayo kemari, cepat aku ggak sabaran lagi, kepingen ni, cepat, aku kepengen ngomong”<br />
<br />
Abdul heran dengan sikap istrinya seperti itu, dan langsung cepat-cepat dia masuk kerumah dengan penasaran sebesar gunung.<br />
<br />
Abdul : "H, h, h, h, h, h," nafasnya kecapaian berlari dari jalan menuju kerumahnya “ada apa istriku yang<br />
cantik?”<br />
Nazariah : “aku hamil kang mas”<br />
Abdul : “kamu hamil?, cihui, hui, “<br />
<br />
Sambil meloncat-loncat kegirangan di atas tempat tidur, Plok, dia terperosok ke dalam tempat tidurnya yang terbuat dari papan itu.<br />
<br />
Tidak lama setelah kejadian itu istrinya melahirkan seorang anak laki-laki yang sangat cantik dan lucu. Dan diberi nama Sukawati<br />
<br />
Pak lurah : “Anak Anda kan laki-laki, kenapa diberi nama Sukawati?”<br />
Abdul : “dikarenakan anak saya laki-lakilah makanya saya beri nama Sukawati, jika saya beri nama<br />
Sukawan dia disangka homo."<br />
Abdul : “Hai Malik (ajudannya) cepat kamu cari kambing yang mempunyai tanduk sebesar jengkal manusia”.<br />
Malik : “Tanduk sebesar jengkal manusia?” ia heran “mau cari dimana tuan?”<br />
Abdul : “Cari di dalam hidungmu dongol, ya cari diseluruh ke seluruh negeri ini”<br />
<br />
Beberapa hari kemudian.<br />
<br />
Malik : “Tuan Abdul, saya sudah cari kemana-mana tetapi saya tidak menemukan kambing yang punya<br />
tanduk sejengkal manusia”<br />
<br />
Abdul : “Bagaimana kalau kita membuat sayembara, cepat buat pengumuman ke seluruh negeri bahwa kita<br />
membutuhkan seekor kambing yang memiliki tanduk sejengkal manusia untuk disembelih”<br />
<br />
Menuruti perintah tuannya, Malik segera menempelkan pengumunan di seluruh negeri itu, dan orang-orang yang memiliki kambing yang bertandukpun datang kerumah Abdul, seperti pengawas Pemilu, Abdul memeriksa tanduk kambing yang dibawa tersebut.<br />
<br />
Abdul : “Hai tuan Anda jangan menipu saya, kambing ini tidak memiliki tanduk sebesar jengkal manusia”<br />
<br />
Kemudian ia pergi ke kambing lain, “Jangan main-main tuan, ini tanduk kambing palsu”.<br />
<br />
Setelah sekian lama menyeleksi tanduk kambing yang dibawa oleh kontestan sayembara, ternyata tidak satupun yang sesuai dengan nazarnya kepada Allah swt. Abdul hampir putus asa, tiba-tiba.<br />
<br />
Abdul : “Aha, saya teh ada ide, segera kamu ke ibu kota dan jumpai pak Abu dan katakan saya ingin<br />
meminta tolong masalah saya.<br />
<br />
Malik segera menuruti perintah tuannya, dan segera menuju ibu kota dan menjumpai Pak Abu yang punya nama lengkap Abu Nawas.<br />
<br />
Malik : “Pak Abu, begini ceritanya, cus, cues, ces. Pak Abu bisa bantu tuan saya?”<br />
Pak Abu : “Katakan pada tuan kamu, bawa kambing yang punya tanduk dan bayinya tersebut besok pagi ke mesjid Fathun Qarib.<br />
<br />
Malik segera pulang dan memberitahukan kepada tuannya bahwa Pak Abu bisa membantu dan cus, cues, ces, sstsst,<br />
<br />
Di esok pagi Abdul menjumpai Pak Abu dengan seekor kambing yang punya tanduk dan anaknya yang masih bayi tersebut, beserta istrinya.<br />
<br />
Pak Abu : “Baiklah tuan Abdul, jika nazarmu kepada Allah SWT menyembelih kambing yang punya tanduk<br />
sebesar jengkal manusia, sekarang tunjukkan mana kambing yang kau bawa kemari, dan mana anakmu.”<br />
Abdul : “Ini kambing dan anak saya Pak Abu”<br />
<br />
Pak Abu kemudian mengukur tanduk kembing tersebut dengan jengkal anak bayi tersebut dan Pak abu memperlihatkannya ke Abdul<br />
<br />
Pak Abu : “Sekarang kamu sudah bisa membayar nazarmu kepada Allah SWT karena sudah dapat kambing yang pas...”<br />
Abdul : “Cihui, uhui, pak Abu memang hebat”, dia meloncat-loncat kegirangan di dalam mesjid setelah melakukan sujud syukur, dan tiba-tiba sleit, dia terpeleset jatuh, karena lantainya baru saja di pel oleh pengurus mesjid itu.KI COKROhttp://www.blogger.com/profile/17161641128928539794noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-1279615065748368088.post-12808645332170011572010-03-10T08:27:00.005-08:002010-03-10T08:27:49.726-08:00curang dibalas curangPada suatu sore, ketika Abu Nawas sedang mengajar murid-muridnya, ada dua orang tamu datang ke rumahnya. Yang seorang adalah wanita tua penjual kahwa, sedang satunya lagi adalah seorang pemuda berkebangsaan Mesir.<br />
<br />
Wanita tua itu berkata beberapa patah kata kemudian diteruskan dengan si pemuda Mesir. Setelah mendengar pengaduan mereka, Abu Nawas menyuruh murid-muridnya menutup kitab mereka. "Sekarang pulanglah kalian. Ajak teman-teman kalian datang kepadaku pada malam hari ini sambil membawa cangkul, penggali, kapak dan martil serta batu."<br />
<br />
Murid-murid Abu Nawas merasa heran, namun mereka begitu patuh kepada Abu Nawas. Dan mereka merasa yakin gurunya selalu berada membuat kejutan dan berada di pihak yang benar. Pada malam harinya mereka datang ke rumah Abu Nawas dengan membawa peralatan yang diminta oleh Abu Nawas. Berkata Abu Nawas, "Hai kalian semua! Pergilah malam hari ini untuk merusak rumah Tuan Kadi yang baru jadi."<br />
<br />
"Hah? Merusak rumah Tuan Kadi?" gumam semua muridnya keheranan. "Apa? Kalian jangan ragu. Laksanakan saja perintah gurumu ini!" kata Abu Nawas menghapus keraguan murid-muridnya.<br />
<br />
"Barang siapa yang mencegahmu, jangan kau perdulikan, terus pecahkan saja rumah Tuan Kadi yang baru. Siapa yang bertanya, katakan saja aku yang menyuruh merusak. Barang siapa yang hendak melempar kalian, maka pukullah mereka dan lemparilah dengan batu."<br />
<br />
Habis berkata demikian, murid-murid Abu Nawas bergerak ke arah Tuan Kadi. Laksana demonstran mereka berteriak-teriak menghancurkan rumah Tuan Kadi. Orang-orang kampung merasa heran melihat kelakukan mereka.<br />
<br />
Lebih-lebih ketika tanpa basa-basi lagi mereka langsung merusak rumah Tua Kadi. Orang-orang kampung itu berusaha mencegah perbuatan mereka, namun karena jumlah murid-murid Abu Nawas terlalu banyak maka orang-orang kampung tak berani mencegah. Melihat banyak orang merusak rumahnya, Tuan Kadi segera keluar dan bertanya,<br />
<br />
"Siapa yang menyuruh kalian merusak rumahku?" Murid-murid itu menjawab, "Guru kami Tuan Abu Nawas yang menyuruh kami!"<br />
<br />
Habis menjawab begitu mereka bukannya berhenti malah terus menghancurkan rumah Tuan Kadi hingga rumah itu roboh dan rata dengan tanah. Tuan Kadi hanya bisa marah-marah karena tidak orang yang berani membelanya, "Dasar Abu Nawas provokator, orang gila! Besok pagi aku akan melaporkannya kepada Baginda."<br />
<br />
Benar, esok harinya Tuan Kadi mengadukan kejadian semalam sehingga Abu Nawas dipanggil menghadap Baginda. Setelah Abu Nawas menghadap Baginda, ia ditanya.<br />
<br />
"Hai Abu Nawas apa sebabnya kau merusak rumah Kadi itu." Abu Nawas menjawab, "Wahai Tuanku, sebabnya ialah pada suatu malam hamba bermimpi, bahwasanya Tuan Kadi menyuruh hamba merusak rumahnya. Sebab rumah itu tidak cocok baginya, ia menginginkan rumah yang lebih bagus Iagi. Ya, karena mimpi itu maka hamba merusak rumah Tuan Kadi."<br />
<br />
Baginda berkata, "Hai Abu Nawas, bolehkah hanya karena mimpi sebuah perintah dilakukan? Hukum dari negeri mana yang kau pakai itu?"<br />
<br />
Dengan tenang Abu Nawas menjawab, "Hamba juga memakai hukum Tuan Kadi yang baru ini Tuanku." Mendengar perkataan Abu Nawas seketika wajah Tuan Kadi menjadi pucat. Ia terdiam seribu bahasa. "Hai Kadi benarkah kau mempunyai hukum seperti itu?" tanya Baginda.<br />
<br />
Tapi Tuan Kadi tiada menjawab, wajahnya nampak pucat, tubuhnya gemetaran karena takut. "Abu Nawas! Jangan membuatku pusing! Jelaskan kenapa ada peristiwa seperti ini !" perintah Baginda.<br />
<br />
"Baiklah..." Abu Nawas tetap tenang. "Baginda... beberapa hari yang lalu ada seorang pemuda Mesir datang ke negeri Baghdad ini untuk berdagang sambil membawa harta yang banyak sekali. Pada suatu malam ia bermimpi kawin dengan anak Tuan Kadi dengan mahar (mas kawin) sekian banyak. ini hanya mimpi Baginda. Tetapi Tuan Kadi yang mendengar kabar itu langsung mendatangi si pemuda Mesir dan meminta mahar anaknya. Tentu saja pemuda Mesir itu tak mau membayar mahar hanya karena mimpi. Nah, di sinilah terlihat arogansi Tuan Kadi, ia ternyata merampas semua harta benda milik pemuda Mesir sehingga pemuda itu menjadi seorang pengemis gelandangan dan akhimya ditolong oleh wanita tua penjual kahwa."<br />
<br />
Baginda terkejut mendengar penuturan Abu Nawas, tapi masih belum percaya seratus persen, maka ia memerintahkan Abu Nawas agar memanggil si pemuda Mesir. Pemuda Mesir itu memang sengaja disuruh Abu Nawas menunggu di depan istana, jadi mudah saja bagi Abu Nawas memanggil pemuda itu ke hadapan Baginda.<br />
<br />
Berkata Baginda Raja, "Hai anak Mesir ceritakanlah hal-ihwal dirimu sejak engkau datang ke negeri ini." Ternyata cerita pemuda Mesir itu sama dengan cerita Abu Nawas. Bahkan pemuda itu juga membawa saksi yaitu Pak Tua pemilik tempat kost dia menginap.<br />
<br />
"Kurang ajar! Ternyata aku telah mengangkat seorang Kadi yang bejad moralnya." Baginda sangat murka. Kadi yang baru itu dipecat dan seluruh harta bendanya dirampas dan diberikan kepada si pemuda Mesir. Setelah perkara selesai, kembalilah si pemuda Mesir itu dengan Abu Nawas pulang ke rumahnya.<br />
<br />
Pemuda Mesir itu hendak membalas kebaikan Abu Nawas. Berkata Abu Nawas, "Janganlah engkau memberiku barang sesuatupun kepadaku. Aku tidak akan menerimanya sedikitpun jua." Pemuda Mesir itu betul-betul mengagumi Abu Nawas. Ketika ia kembali ke negeri Mesir ia menceritakan tentang kehebatan Abu Nawas itu kepada penduduk Mesir sehingga nama Abu Nawas menjadi sangat terkenal.KI COKROhttp://www.blogger.com/profile/17161641128928539794noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-1279615065748368088.post-29992010558721332702010-03-10T08:27:00.001-08:002010-03-10T08:27:06.488-08:00abunawas menangkap anginAbu Nawas kaget bukan main ketika seorang utusan Baginda Raja datang ke rumahnya. Ia harus menghadap Baginda secepatnya. Entah permainan apa lagi yang akan dihadapi kali ini. Pikiran Abu Nawas berloncatan ke sana kemari. Setelah tiba di istana, Baginda Raja menyambut Abu Nawas dengan sebuah senyuman.<br />
<br />
"Akhir-akhir ini aku sering mendapat gangguan perut. Kata tabib pribadiku, aku kena serangan angin." kata Baginda Raja memulai pembicaraan.<br />
"Ampun Tuanku, apa yang bisa hamba lakukan hingga hamba dipanggil." tanya Abu Nawas.<br />
"Aku hanya menginginkan engkau menangkap angin dan memenjarakannya." kata Baginda. Abu Nawas hanya diam. Tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Ia tidak memikirkan bagaimana cara menangkap angin nanti, tetapi ia bingung bagaimana cara membuktikan bahwa yang ditangkap itu memang benar-benar angin.<br />
<br />
Karena angin tidak bisa dilihat. Tidak ada benda yang lebih aneh dari angin. Tidak seperti halnya air walaupun tidak berwarna tetapi masih bisa dilihat. Sedangkan angin tidak. Baginda hanya memberi Abu Nawas waktu tidak lebih dari tiga hari. Abu Nawas pulang membawa pekerjaan rumah dari Baginda Raja. Namun Abu Nawas tidak begitu sedih. Karena berpikir sudah merupakan bagian dari hidupnya, bahkan merupakan suatu kebutuhan. Ia yakin bahwa dengan berpikir akan terbentang jalan keluar dari kesulitan yang sedang dihariapi. Dan dengan berpikir pula ia yakin bisa menyumbangkan sesuatu kepada orang lain yang membutuhkan terutama orang-orang miskin. Karena tidak jarang Abu Nawas menggondol sepundi penuh uang emas hadiah dari Baginda Raja atas kecerdikannya.<br />
<br />
Tetapi sudah dua hari ini Abu Nawas belum juga mendapat akal untuk menangkap angin apalagi memenjarakannya. Sedangkan besok adalah hari terakhir yang telah ditetapkan Baginda Raja. Abu Nawas hampir putus asa. Abu Nawas benar - benar tidak bisa tidur walau hanya sekejap. Mungkin sudah takdir; kayaknya kali ini Abu Nawas harus menjalani hukuman karena gagal melaksanakan perintah Baginda, Ia berjalan gontai menuju istana. Di sela-sela kepasrahannya kepada takdir ia ingat sesuatu, yaitu Aladin dan lampu wasiatnya.<br />
<br />
"Bukankah jin itu tidak terlihat?" Abu Nawas bertanya kepada diri sendiri. ia berjingkrak girang dan segera berlari pulang. Sesampai di rumah ia secepat mungkin menyiapkan segala sesuatunya kemudian manuju istana. Di pintu gerbang istana Abu Nawas langsung dipersilahkan masuk oleh para pengawal karena Baginda sedang menunggu kehadirannya. Dengan tidak sabar Baginda langsung bertanya kepada Abu Nawas.<br />
<br />
"Sudahkah engkau berhasil memenjarakan angin, hai Abu Nawas? "<br />
"Sudah Paduka yang mulia." jawab Abu Nawas dengan muka berseri-seri sambil mengeluarkan botol yang sudah disumbat. Kemudian Abu Nawas menyerahkan botol itu. Baginda menimbang-nimang batol itu.<br />
"Mana angin itu, hai Abu Nawas?" tanya Baginda. Di dalam, Tuanku yang mulia." jawab Abu Nawas penuh takzim. "Aku tak melihat apa-apa." kata Baginda Raja.<br />
"Ampun Tuanku, memang angin tak bisa dilihat, tetapi bila Paduka ingin tahu angin, tutup botol itu harus dibuka terlebih dahulu." kata Abu Nawas menjelaskan. Setelah tutup botol dibuka. Baginda mencium bau busuk. Bau kentut yang begitu menyengat hidung.<br />
"Bau apa ini, hai Abu Nawas?" tanya Baginda marah. "Ampun Tuanku yang mulia, tedi hamba buang angin dan hamba. masukkan ke dalam botol. Karena hamba takut angin yang hamba buang itu keluar maka hamba memenjarakannya dengan cara menyumbat mulut botol." kata Abu Nawas ketakutan.<br />
<br />
Tetapi Baginda tidak jadi marah karena penjelasan Abu Nawas memang masuk akal. "Heheheheh kau memang pintar Abu Nawas."<br />
<br />
Tapi... jangan keburu tertawa dulu, dengar dulu apa kata Abu Nawas. "Baginda...!"<br />
"Ya Abu Nawas!"<br />
"Hamba sebenarnya cukup pusing memikirkan cara melaksanakan tugas memenjarakan angin ini."<br />
"Lalu apa maksudmu Abu Nawas?"<br />
"Hamba. minta ganti rugi."<br />
"Kau hendah memeras seorang Raja?"<br />
"Oh, bukan begitu Baginda."<br />
"Lalu apa maumu?"<br />
"Baginda harus memberi saya hadiah berupa uang sekedar untuk bisa belanja dalam satu bulan."<br />
"Kalau tidak?" tantang Baginda.<br />
"Kalau tidak... hamba akan menceritakan kepada khalayak ramai bahwa Baginda telah dengan sengaja mencium kentut hamba!"<br />
"Hah?" Baginda kaget dan jengkel tapi kemudian tertawa terbahak-bahak. "Baik permintaanmu kukabulkan!"KI COKROhttp://www.blogger.com/profile/17161641128928539794noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-1279615065748368088.post-2553328757361518252010-03-10T08:26:00.001-08:002010-03-10T08:26:19.194-08:00pakaian bisa tetap keringSejak peristiwa penghancuran barang-barang di istana oleh Abu Nawas yang tanpa bisa dicegah oleh Baginda, sejak saat itu pula Baginda ingin menangkap Abu Nawas untuk dijebloskan ke penjara. Sudah menjadi hukum bagi siapa saja yang tidak sanggup melaksanakan titah Baginda, maka tak disangsikan lagi ia akan mendapat hukuman. Baginda tahu Abu Nawas amat takut kepada beruang.<br />
<br />
Suatu hari Baginda memerintahkan prajuritnya menjemput Abu Nawas agar bergabung dengan rombongan Baginda Raja Harun Al Rasyid berburu beruang. Abu Nawas merasa takut dan gemetar tetapi ia, tidak berani menolak titah Baginda. Dalam perjalanan menuju ke hutan, tiba-tiba cuaca yang cerah berubah menjadi mendung. Baginda memanggil Abu Nawas. Dengan penuh rasa hormat Abu Nawas mendekati Baginda.<br />
<br />
"Tahukah mengapa engkau aku panggil?" tanya Baginda tanpa sedikit pun senyum di wajahnya.<br />
"Ampun Tuanku, hamba belum tahu." kata Abu Nawas<br />
"Kau pasti tahu bahwa sebentar lagi akan turun hujan. Hutan masih jauh dari sini. Kau kuberi kuda yang lamban. Sedangkan aku dan pengawal-pengawalku akan menunggang kuda yang cepat. Nanti pada waktu santap siang kita berkumpul di tempat peristirahatanku. Bila hujan turun kita harus menghindarinya dengan cara kita masing-masing agar pakaian kita tetap kering. Sekarang kita berpencar."<br />
<br />
Baginda menjelaskan. Kemudian Baginda dan rombongan mulai bergerak. Abu Nawas kini tahu Baginda akan menjebaknya. Ia harus mancari akal. Dan ketika Abu Nawas sedang berpikir, tiba-tiba hujan turun. Begitu hujan turun Baginda dan rombongan segera memacu kuda untuk mencapai tempat perlindungan yang terdekat. Tetapi karena derasnya hujan, Baginda dan para pengawalnya basah kuyup. Ketika santap siang tiba Baginda segera menuju tempat peristirahatan.<br />
<br />
Belum sempat baju Baginda dan para pengawalnya kering, Abu Nawas datang dengan menunggang kuda yang lamban. Baginda dan para pengawal terperangah karena baju Abu Nawas tidak basah. Padahal dengan kuda yang paling cepat pun tidak bisa mencapai tempat berlindung yang paling dekat. Pada hari kedua Abu Nawas diberi kuda yang cepat yang kemarin ditunggangi Baginda Raja. Kini Baginda dan para pengawal-pengawalnya mengendarai kuda-kuda yang lamban.<br />
<br />
Setelah Abu Nawas dan rombongan kerajaan berpencar, hujan pun turun seperti kemarin. Malah hujan hari ini lebih deras daripada kemarin. Baginda dan pengawalnya langsung basah kuyup karena kuda yang ditunggangi tidak bisa berlari dengan kencang. Ketika saat bersantap siang tiba, Abu Nawas tiba di tempat peristirahatan lebih dahulu dari Baginda dan pengawalnya. Abu Nawas menunggu Baginda Raja. Selang beberapa saat Baginda dan para pengawalnya tiba dengan pakaian yang basah kuyup.<br />
<br />
Melihat Abu Nawas dengan pakaian yang tetap kering Baginda jadi penasaran. Beliau tidak sanggup lagi menahan keingintahuan yang selama ini disembunyikan. "Terus terang begaimana caranya menghindari hujan , wahai Abu Nawas." tanya Baginda.<br />
"Mudah Tuanku yang mulia." kata Abu Nawas sambil tersenyum.<br />
<br />
"Sedangkan aku dengan kuda yang cepat tidak sanggup mencapai tempat berteduh terdekat, apalagi dengan kuda yang lamban ini." kata Baginda.<br />
<br />
"Hamba sebenarnya tidak melarikan diri dari hujan.Tetapi begitu hujan turun hamba secepat mungkin melepas pakaian hamba dan segera melipatnya, lalu mendudukinya. Ini hamba lakukan sampai hujan berhenti." Diam-diam Baginda Raja mengakui kecerdikan Abu Nawas.KI COKROhttp://www.blogger.com/profile/17161641128928539794noreply@blogger.com